KARAWANG CENTER – Petani di masa pandemi Covid-19 dihadapkan pada biaya produksi sawah yang mahal. Padahal, saat pandemi perekonomian pun serba terdampak, apalagi bayang-bayang resesi akan membuat daya beli masyarakat turun sementara harga barang dan jasa melambung. Namun sekelompok petani padi di Cilamaya, Jawa Barat, masih melihat adanya secercah harapan di tengah keterpurukan ekonomi masa pandemi. Bangkit berjuang, mereka memulai sebuah usaha yang membuahkan hasil manis saat pandemi.
–
Dibina oleh Pertagas, mereka membentuk kelompok tani Gapoktan Saluyu, memproduksi pupuk organik granule dan cair untuk lahan sawahnya. Aep Endang Sudrajat, Ketua Gapoktan Saluyu, tampak bersemangat membeberkan kisah kelompok taninya saat Zoom meeting yang diadakan oleh Pertagas, beberapa waktu lalu.
“Dengan program tanam padi sehat ini, biaya produksi tidak bengkak. Jika tidak pakai pupuk organik, satu hektar sawah butuh biaya Rp 10 juta-Rp 11 juta. Tapi kalau pakai pupuk organik hanya Rp 5,5 juta-Rp 6 juta. Hasil padinya sekitar 6,2 ton rata-rata, sementara yang pakai pupuk kimia malah hanya 5 ton rata-rata,” kata pria kelahiran Cilamaya tahun 1960 itu.
Menurut dia, besarnya pengeluaran untuk pupuk kimia lantaran tanah pertanian jadi kurang subur jika terus menerus diberi pupuk kimia. Akibatnya, petani harus menambah biaya untuk mengurangi hama.
–
Jika pakai pupuk organik, walaupun kondisi sering hujan seperti tahun lalu pun, panen tetap bagus. Pekerjaan petani, katanya, menjadi ringan karena tidak terlalu banyak melakukan penyemprotan.
“Karena keberhasilan itu, banyak petani yang mau ikut gabung ke Gapoktan Saluyu lantaran pendapatan petani lebih tinggi. Target kami musim panen tahun depan bisa sampai 7 ton per hektar,” lanjutnya.
Gapoktan Saluyu sendiri sudah berdiri sejak 2002 dan beranggotakan 374 petani. Awalnya, Gapoktan ini membawahi 7 kelompok tani, yang masing-masing menyetor lahan 1 hektar untuk jadi percobaan. Saat ini, jumlah lahan percobaan sudah bertambah jadi 14 hektar, dengan target nantinya per kelompok tani bisa menggunakan pupuk organik untuk 4 hektar lahannya. Kelompok tani ini mengaku secara bertahap diberi binaan utnuk mengurangi pupuk kimia sejak awal 2019. Awalnya, pupuk kimia dikurangi 50 persen, kini hingga 85 persen.
–
Kendala di masa pandemi
Menurut Aep, di masa pandemi, kebutuhan pembelian bahan baku kotoran sapi agak tersendat dan harganya naik. Dari petani masih bisa memproduksi 1-2 ton kotoran ternak, tapi masih kurang sekitar 14 ton lagi, yang biasanya dibeli dari Bekasi. Pandemi juga berdampak pada harga jual beras petani yang terus turun.
“Hasil panen karena adanya Covid-19 harga yang tadinya rata-rata di atas Rp 5.000-an per kg, kini di kisaran Rp 4.700-Rp 4.800 per kg,” katanya.
Aep juga mengatakan, saat panen hingga pemasaran hasil panen juga sedikit menemui kesulitan, apalagi saat PSBB berlangsung. Fitri Erika, Corporate Secretary Pertagas, membenarkan kondisi tersebut.
–
Menurut dia, program CSR di tengah pandemi pun jadi harus ikut menyesuaikan dengan protokol kesehatan.
“Di masa pandemi Gapoktan Cilamaya sempat panen. Saat itu kami jaga petani dengan memakai masker dan social distancing,” ujar Erika, saat Zoom meeting.
Zainal Abidin, Manajer Comrel dan CSR Pertagas menambahkan, selama pandemi Covid-19 menjadi tantangan bagi pihaknya untuk melakukan pendampingan langsung ke warga. Pasalnya, kondisi pandemi ini mrupakan kondisi yang tidak biasa. Akibatnya, harus dilakukan pemetaan sosial untuk kegiatan CSR pada 2020.
“Selama pandemi ada yang kami hold, ada yang tetap jalan, tapi ada juga yang harus disesuaikan dan ditunda,” katanya.